We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Tidak Ada yang Tidak Mungkin, Jangan Pergi Full Episode

Chapter Bab 93
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

.

Bab 93 Kepercayaan
Fabian membawa boks makan siangnya untuk dihangatkan di dapur. Namun, sama sekali tidak. menduga bertemu Vivin dan
kikuk.
Wajah Vivin berubah datar, tanpa ekspresi. Dia membalikkan badan dan hendak pergi tetapi Fabian memanggilnya.
“Vivin!”
Vivin tidak berhenti dan terus berjalan keluar. Dia merasakan Fabian merenggut pergelangan tangannya, dan dia pun
menghentikan langkahnya. Vivin membalikkan badan dan disambut dengan tatapan kesal Fabian.
“Vivin.” Wajah Fabian dingin. “Aku memanggilmu. Tidakkah kau dengar?”
“Ya, aku mendengar.” Nada suaranya dingin. “Aku hanya tak mau menjawabnya.”
Sikap tak peduli Vivin begitu menyakitan Fabian. Secara tak sadar dia mengencangkan cengkeraman tangannya pada Vivin.
“Apakah kau masih marah tentang peristiwa di pesta itu?” Fabian mencoba untuk menekan perasaan kecewanya. “Aku benar-
benar mohon maaf tentang hal itu. Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi dengan foto itu. Kau harus memercayaiku. Aku tak
akan mungkin melakukan tindakan tercela seperti itu.”
Vivin tidak ingin peduli terhadap Fabian. Namun, ketika ia mendengar Fabian mengatakan “kau harus memercayaiku,” ejekan

pun tersirat di wajahnya. “Memercayaimu? Memercayaimu bagaimana? Percaya bahwa kau akan merusak reputasiku? Atau
percaya bahwa kau tak akan berhenti menyiksaku?”
Fabian pucat pasi. Dengan penuh amarah, ia menuntut, “Vivin, tidakkah kau tau orang macam aku ini, karena kita sudah saling
mengenal begitu lama? Aku tak akan mungkin melakukan tindakan keji seperti itu, bahkan bila pun aku membencimu!”
apa
Kata-kata Fabian membuatnya terkekeh.
Senyum meremehkannya ini menunjukkan ketidakberdayaan. “Fabian, kau minta aku memercayaimu. Tapi, apakah kau pernah
memercayaiku?
Fabian terkesiap. Dia tidak menduga Vivin berkata seperti itu.

“Kita sudah saling mengenal begitu lama. Dan kita telah bersama-sama selama tiga tahun. Tidakkah kau mengenalku tipe orang
seperti apa?” Vivin membalikkan kata-kata itu padanya. Matanya memerah saat melanjutkan, “Terlepas dari ini semua, kau
memilih untuk melupakan siapa aku hanya dengan beberapa foto dan rumor tak berdasar itu. Kau selalu memilih untuk
memercayai orang lain.”
Fabian gemetar.
1/2
Apa yang barusan dia katakan?Apakah dia menuduhku tidak memercayainya?

“Ini dua hal berbeda!” Fabian kesal tak beraturan. “Baiklah, anggaplah aku salah paham tentang kau di masa lalu. Lalu, bisakah
kau jelaskan bagaimana kau-seperti wartawan amatir”-menikah dengan pamanku? Bukankah itu bukti bagus bahwa kau semata
ingin masuk ke keluarga kaya? Selain itu, aku sudah melihat bagaimana kau begitu lembut di depan Tuan Hendra kemarin. Aku
tak ingin menyampaikan hal ini ke paman. Aku takut dia tak tahu seperti apa tingkahmu di luar sana!”
Vivin mendadak terkejut saat dia menatap Fabian. Aku hanya buang-buang waktu dan energi saja bicara dengan laki-laki
brengsek ini.Aku hanyalah seorang pelacur di matanya. Untuk apa juga aku sibuk berdiskusi tentang kepercayaan dengannya?
Hah. Aku seorang idiot.
Fabian menduga Vivin kehabisan kata-kata saat dia bergumam. Dia sekilas melihat tanda merah. masih terlihat jelas di leher
perempuan itu. Monster dalam dirinya pun terbangun.
“Kau bilang aku harus tahu lebih banyak, tetapi aku rasa aku tidak melihat Vivin yang sesungguhnya selama tiga tahun kita
bersama!” Fabian menyerocos, “Vivin Wiliardi yang aku kenal akan merona bahkan ketika aku memegang tangannya, tetapi
bagaimana dengan Vivin Wiliardi yang sesungguhnya? Kau bisa berjalan ke mana-mana dengan tanda merah di lehermu itu.
Tak punya malukah kau, Vivin?”
Fabian menyadari bahwa kata-katanya begitu kasar. Kembali ke beberapa tahun lalu, dia tak akan percaya bahwa dia sanggup
menuturkan kata yang menyayat begitu dalam.
Namun, dia marasa dirinya marah di depan Vivin. Dia tidak merasa seperti dirinya lagi.
Vivin anehnya tetap tenang ketika Fabian melontarkan hinaan terhadapnya. Dia bahkan tidak merasa perlu untuk membalas
pernyataan laki-laki itu. Tatapan matanya semakin dingin.

“Fabian Normando,” Vivin berkata lembut, nada suaranya begitu datar tak berintonasi. “Suatu hari nanti, ketika kau menyadari
bahwa semua ini hanyalah asumsimu belaka, aku tak akan memaafkanmu, bahkan bila pun kau datang merengek-rengek